BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan.
Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga ditengarai tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya yaitu tingkat kecelakaan kerja yang lebih tinggi lagi. Seperti diakui oleh berbagai kalangan di lingkungan Departemen Tenaga Kerja, angka kecelakaan kerja yang tercatat dicurigai hanya mewakili tidak lebih dari setengah saja dari angka kecelakaan kerja yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain rendahnya kepentingan masyarakat untuk melaporkan kecelakaan kerja kepada pihak yang berwenang, khususnya PT. Jamsostek. Pelaporan kecelakaan kerja sebenarnya diwajibkan oleh undang-undang, namun terdapat dua hal penghalang yaitu prosedur administrasi yang dianggap merepotkan dan nilai klaim asuransi tenaga kerja yang kurang memadai. Di samping itu, sanksi bagi perusahaan yang tidak melaporkan kasus kecelakaan kerja sangat ringan.
Sebagian besar dari kasus-kasus kecelakaan kerja terjadi pada kelompok usia produktif. Kematian merupakan akibat dari kecelakaan kerja yang tidak dapat diukur nilainya secara ekonomis. Kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat seumur hidup, di samping berdampak pada kerugian non-materil, juga menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit serius seperti penyakit jantung dan kanker.
Masalah umum mengenai K3 ini juga terjadi pada penyelenggaraan konstruksi. Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh sektor, dan menyumbang 6.45% dari PDB di Indonesia. Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja, disamping sektor utama lainnya yaitu pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Jumlah tenaga kerja di sektor konstruksi yang mencapai sekitar 4.5 juta orang, 53% di antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. Sebagai besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan. Kenyataan ini tentunya mempersulit penanganan masalah K3 yang biasanya dilakukan dengan metoda pelatihan dan penjelasan-penjelasan mengenai Sistem Manajemen K3 yang diterapkan pada perusahaan konstruksi.
Contoh kejadian :
1. Tembok Bata Sepanjang 50 Meter Roboh
kejadian yang mencoreng jasa konstruksi di Indonesia kembali terjadi. Lima pekerja tewas dan sembilan lainnya luka parah tertimpa tembok bangunan pabrik kayu lapis yang sedang dibangun di Dukuh Sawur, desa Genengsari, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (11/9). Empat korban tewas di tempat kejadian sementara satu lainnya meninggal di RS PKU Muhammadidyah Karanganyar
Menurut saksi mata, Imam Hartono, pemilik pabrik, sebelum tembok roboh, datang angin kencang dari arah barat. “Kejadian berlangsung tiba-tiba, tidak ada seorang pun tukang bangunan yang menyangka kalau tembok yang sedang dikerjakan itu runtuh setelah dihantam angin yang datang dari arah barat,” ungkapnya. Menurut Sutoyo,46, pekerja yang selamat dari tragedi tersebut menyatakan sebelumnya tidak ada tanda-tanda tembok setinggi lima meter dengan panjang hampir 50 meter yang sedang dikerjakan itu akan roboh. “Tiba-tiba tembok sebelah barat itu ambruk dan menimpa teman-teman yang sedang berada di bawahnya,” ujarnya.
2. Pekerja Bangunan Tewas Setelah Terpeleset
TEMPO Interaktif, Jakarta- Seorang pekerja bangunan tewas setelah terjatuh dari lantai satu proyek bangunan Gandaria City, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Diperkirakan akibat kecelakaan kerja.
"Pekerja itu terpeleset lalu terjatuh dari lantai satu," kata Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Lama, Komisaris Polisi Makmur Simbolon kepada wartawan.
Menurut dia, kejadian terjadi sekitar pukul 11.00. Ketika itu, pekerja yang belum diketahui identitasnya itu terpeleset dengan posisi kepala terlebih dulu menghantam tanah.
"Korban langsung dilarikan ke RS Fatmawati. Diperkirakan meninggal selama perjalanan," tambah dia.(ANTON WILLIAM Senin, 05 Juli 2010 | 12:50 WIB)
3. Pekerja Bangunan Tewas Terjatuh dari Lantai Sembilan
Surabaya - Seorang pekerja proyek pembangunan gedung dijalan Manyar Kertoarjo, Surabaya, Jawa Timur, terjatuh dari lantai sembilan atau ketinggian sekitar 38 meter dan tewas seketika di lokasi kejadian,Kamis. Korban tewas bernama Zaenal Abidin (33), warga Desa Burno, Bojonegoro. Sedangkan rekannya, Kalam (25), warga Jalan Pandegiling, Surabaya, bernasib lebih beruntung, karena meskipun sama-sama terjatuh, tetapi masih selamat dan mengalami patah tulang tangan kanan serta rusuk bagian belakang memar. Salah satu saksi mata, Gatot, mengaku terkejut mendengar suara benda jatuh dari atas dan ketika dilihat ternyata dua orang pekerja sedang tergeletak.
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo," ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011 21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
"Saya diberitahu teman-teman kalau ada pekerja yang jatuh. Ternyata Zaenal Abidin dan Kalam. Kemudian, kami membawanya ke Rumah Sakit Dr Soetomo," ujarnya. Peristiwa kecelakaan kerja tersebut terjadi usai jam istirahat. Kedua korban saat itu sedang bertugas menaikkan 10 triplek ke lantai sembilan dengan menggunakan lift yang tanpa dilengkapi pengaman. Namun, angin yang bertiup sangat kencang menerpa triplek, sehingga satu di antaranya terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, angin yang bertiup malah membuat keduanya tak seimbang hingga terjatuh.
"Korban Zaenal Abidin langsung terjatuh ke tanah, sedang Kalam sempat tersangkut di lantai empat," kata Gatot. Kapolsek Mulyorejo Komisaris Polisi Hariyono ketika dikonfirmasi membenarkan peristiwa tersebut dan telah menurunkan anggotanya ke tempat kejadian perkara (TKP). Pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut. "Kami belum bisa memastikan, apakah ada tersangka atau tidak dalam kasus ini," ujarnya. (20 Jan 2011 21:14:10| Penulis : Fiqih Arfani)
Proyek konstruksi tidak hanya menuntut akurasi dalam perencanaan kekuatan, akan tetapi perlu dicermati mengenai metode dan teknologi konstruksinya. Kesalahan dalam metode konstruksi terbukti berakibat yang sangat fatal, yaitu korban jiwa tenaga kerjanya. Membiarkan tembok baru yang tinggi tanpa bingkai (perkuatan yang cukup) dari kolom dan sloof beton bertulang atau besi profil tentunya sangat berbahaya ketika menerima gaya horisontal (dalam hal ini hembusan angin). Selain itu tembok dengan panjang 50 m, akan sangat riskan jika tidak diberikan dilatansi yang cukup.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Di Indonesia, setiap tujuh detik terjadi satu kasus kecelakaan kerja (”K3 Masih Dianggap Remeh,” Warta Ekonomi, 2 Juni 2006). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan. Tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan. Kewajiban untuk menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya diabaikan. Di samping itu, yang masih perlu menjadi catatan adalah standar keselamatan kerja di Indonesia ternyata paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk dua negara lainnya, yakni Bangladesh dan Pakistan. Sebagai contoh, data terjadinya kecelakaan kerja yang berakibat fatal pada tahun 2001 di Indonesia sebanyak 16.931 kasus, sementara di Bangladesh 11.768 kasus.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimana kesalahan dalam metode konstruksi dapat di minimalisir dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
3. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui metode konstruksi yang benar dan mencegah kecelakaan kerja guna meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja.
BAB II
PEMBAHASAN
Kecelakaan kerja merupakan suatu hal yang sering terjadi dalam dunia kerja, terjadinya kecelakaan kerja ini dapat kita pelajari dan diupayakan pencegahannya. Adapun beberapa teori mengenai penyebab kecelakaan kerja, yaitu:
1. Teori Heinrich ( Teori Domino)
Teori ini mengatakan bahwa suatu kecelakaan terjadi dari suatu rangkaian kejadian . Ada lima faktor yang terkait dalam rangkaian kejadian tersebut yaitu : lingkungan, kesalahan manusia, perbuatan atau kondisi yang tidak aman, kecelakaan, dan cedera atau kerugian (Ridley, 1986).
2. Teori Multiple Causation
Teori ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kemungkinan ada lebih dari satu penyebab terjadinya kecelakaan. Penyebab ini mewakili perbuatan, kondisi atau situasi yang tidak aman. Kemungkinan-kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan kerja tersebut perlu diteliti.
3. Teori Gordon
Menurut Gordon (1949), kecelakaan merupakan akibat dari interaksi antara korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang kompleks, yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan mempertimbangkan salah satu dari 3 faktor yang terlibat. Oleh karena itu, untuk lebih memahami mengenai penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan maka karakteristik dari korban kecelakaan, perantara terjadinya kecelakaan, dan lingkungan yang mendukung harus dapat diketahui secara detail.
4. Teori Domino terbaru
Setelah tahun 1969 sampai sekarang, telah berkembang suatu teori yang mengatakan bahwa penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja adalah ketimpangan manajemen. Widnerdan Bird dan Loftus mengembangkan teori Domino Heinrich untuk memperlihatkan pengaruh manajemen dalam mengakibatkan terjadinya kecelakaan.
5. Teori Reason
Reason (1995,1997) menggambarkan kecelakaan kerja terjadi akibat terdapat “lubang” dalam sistem pertahanan. Sistem pertahanan ini dapat berupa pelatihan-pelatihan, prosedur atau peraturan mengenai keselamatan kerja,
6. Teori Frank E. Bird Petersen
Penelusuran sumber yang mengakibatkan kecelakaan . Bird mengadakan modifikasi dengan teori domino Heinrich dengan menggunakan teori manajemen, yang intinya sebagai berikut (M.Sulaksmono,1997) :
I. Manajemen kurang kontrol
II. Sumber penyebab utama
III. Gejala penyebab langsung (praktek di bawah standar)
IV. Kontak peristiwa ( kondisi di bawah standar )
V. Kerugian gangguan ( tubuh maupun harta benda )
Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya berhasil apabila dimulai dari memperbaiki manajemen tentang keselamayan dan kesehatan kerja. Kemudian, praktek dan kondisi di bawah standar merupakan penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan merupakan gejala penyebab utama akibat kesalahan manajemen.
B. Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh 2 faktor utama yakni faktor fisik dan faktor manusia. Kecelakaan kerja ini mencakup 2 permasalahan pokok, yakni:
a. Kecelakaan akibat langsung pekerjaan (PAK)
b. Kecelakaan terjadi pada saat pekerjaan sedang dilakukan (PAHK)
Dalam perkembangan selanjutnya ruang lingkup kecelakaan ini diperluas lagi sehingga mencakup kecelakaan-kecelakaan tenaga kerja yang terjadi pada saat perjalanan atau transport ke dan dari tempat kerja. Dengan kata lain kecelakaan lalu lintas yang menimpa tenaga kerja dalam perjalanan ke dan dari tempat kerja atau dalam rangka menjalankan pekerjaannya juga termasuk kecelakaan kerja. Penyebab kecelakaan kerja pada umumnya digolongkan menjadi 2, yakni:
a. Faktor Fisik
Kondisi-kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman atau unsafety condition misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan sebagainya.
b. Faktor Manusia
Perilaku pekerja itu sendiri yang tidak memenuhi keselamatan, misalnya karena kelengahan, ngantuk, kelelahan, dan sebagainya. Menurut hasil penelitian yang ada, 85 % dari kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia.
C. Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), kecelakaan akibat kerja ini diklasifikasikan berdasarkan 4 macam penggolongan, yakni:
a. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan :
• Terjatuh
• Tertimpa benda
• Tertumbuk atau terkena benda-benda
• Terjepit oleh benda
• Gerakan-gerakan melebihi kemampuan
• Pengaruh suhu tinggi
• Terkena arus listrik
• Kontak bahan-bahan berbahaya atau radiasi
b. Klasifikasi menurut penyebab :
• Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik.
• Alat angkut: alat angkut darat, udara, dan air.
• Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, alat-alat listrik, dan sebagainya.
• Bahan-bahan,zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak,gas,zat-zat kimia, dan sebagainya.
• Lingkungan kerja ( diluar bangunan, di dalam bangunan dan di bawah tanah )
• Penyebab lain yang belum masuk tersebut di atas.
c. Klasifikasi menurut sifat luka atau kelainan :
• Patah tulang\
• Dislokasi ( keseleo )
• Regang otot (urat)
• Memar dan luka dalam yang lain
• Amputasi
• Luka di permukaan
• Geger dan remuk
• Luka bakar
• Keracunan-keracunan mendadak
• Pengaruh radiasi
• Lain-lain
d. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh :
• Kepala
• Leher
• Badan
• Anggota atas
• Anggota bawah
• Banyak tempat
• Letak lain yang tidak termasuk dalam klsifikasi tersebut.
D. Risiko Kecelakaan Kerja Pada Proyek Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih. Ditambah dengan manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah, akibatnya para pekerja bekerja dengan metoda pelaksanaan konstruksi yang berisiko tinggi. Untuk memperkecil risiko kecelakaan kerja, sejaka awal tahun 1980an pemerintah telah mengeluarkan suatu peraturan tentang keselamatan kerja khusus untuk sektor konstruksi, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-01/Men/1980.
Peraturan mengenai keselamatan kerja untuk konstruksi tersebut, walaupun belum pernah diperbaharui sejak dikeluarkannya lebih dari 20 tahun silam, namun dapat dinilai memadai untuk kondisi minimal di Indonesia. Hal yang sangat disayangkan adalah pada penerapan peraturan tersebut di lapangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan masalah keselamatan kerja, dan rendahnya tingkat penegakan hukum oleh pemerintah, mengakibatkan penerapan peraturan keselamatan kerja yang masih jauh dari optimal, yang pada akhirnya menyebabkan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Akibat penegakan hukum yang sangat lemah, King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia proyek konstruksi di negara-negara berkembang, terdapat tiga kali lipat tingkat kematian dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Dari berbagai kegiatan dalam pelaksanaan proyek konstruksi, pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan galian. Pada kedua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Jenis-jenis kecelakaan kerja akibat pekerjaan galian dapat berupa tertimbun tanah, tersengat aliran listrik bawah tanah, terhirup gas beracun, dan lain-lain. Bahaya tertimbun adalah risiko yang sangat tinggi, pekerja yang tertimbun tanah sampai sebatas dada saja dapat berakibat kematian. Di samping itu, bahaya longsor dinding galian dapat berlangsung sangat tiba-tiba, terutama apabila hujan terjadi pada malam sebelum pekerjaan yang akan dilakukan pada pagi keesokan harinya. Data kecelakaan kerja pada pekerjaan galian di Indonesia belum tersedia, namun sebagai perbandingan, Hinze dan Bren (1997) mengestimasi jumlah kasus di Amerika Serikat yang mencapai 100 kematian dan 7000 cacat tetap per tahun akibat tertimbun longsor dinding galian serta kecelakaan-kecelakaan lainnya dalam pekerjaan galian.
Masalah keselamatan dan kesehatan kerja berdampak ekonomis yang cukup signifikan. Setiap kecelakaan kerja dapat menimbulkan berbagai macam kerugian. Di samping dapat mengakibatkan korban jiwa, biaya-biaya lainnya adalah biaya pengobatan, kompensasi yang harus diberikan kepada pekerja, premi asuransi, dan perbaikan fasilitas kerja. Terdapat biaya-biaya tidak langsung yang merupakan akibat dari suatu kecelakaan kerja yaitu mencakup kerugian waktu kerja (pemberhentian sementara), terganggunya kelancaran pekerjaan (penurunan produktivitas), pengaruh psikologis yang negatif pada pekerja, memburuknya reputasi perusahaan, denda dari pemerintah, serta kemungkinan berkurangnya kesempatan usaha (kehilangan pelanggan pengguna jasa). Biaya-biaya tidak langsung ini sebenarnya jauh lebih besar dari pada biaya langsung. Berbagai studi
menjelaskan bahwa rasio antara biaya tidak langsung dan biaya langsung akibat kecelakaan kerja konstruksi sangat bervariasi dan diperkirakan mencapai 4:1 sampai dengan bahkan 17:1 (The Business Roundtable, 1991).
Dampak Kecelakaan Kerja
Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja (Simanjuntak, 1994):
a. Meninggal dunia
Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan sebelumnya.
b. Cacat permanen total
Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
c. Cacat permanen sebagian
Cacat yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama sekali tidak berfungsi.
d. Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produkti
E. Pedoman K3 Konstruksi
Pemerintah telah sejak lama mempertimbangkan masalah perlindungan tenaga kerja, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja. Sesuai dengan perkembangan jaman, pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang undang ini mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja yaitu upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja, dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja.
Aspek ketenagakerjaan dalam hal K3 pada bidang konstruksi, diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. Peraturan ini mencakup ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja secara umum maupun pada tiap bagian konstruksi bangunan. Peraturan ini lebih ditujukan untuk konstruksi bangunan, sedangkan untuk jenis konstruksi lainnya masih banyak aspek yang belum tersentuh. Di samping itu, besarnya sanksi untuk pelanggaran terhadap peraturan ini sangat minim yaitu senilai seratus ribu rupiah. Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai ”Pedoman K3 Konstruksi” ini merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Pedoman K3 Konstruksi ini cukup komprehensif, namun terkadang sulit dimengerti karena menggunakan istilah-istilah yang tidak umum digunakan, serta tidak dilengkapi dengan deskripsi/gambar yang memadai. Kekurangan-
kekurangan tersebut tentunya sangat menghambat penerapan pedoman di lapangan, serta dapat menimbulkan perbedaan pendapat dan perselisihan di antara pihak pelaksana dan pihak pengawas konstruksi.
Pedoman K3 Konstruksi selama hampir dua puluh tahun masih menjadi pedoman yang berlaku. Baru pada tahun 2004, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, yang kini dikenal sebagai Departemen Pekerjaan Umum, amulai memperbarui pedoman ini, dengan dikeluarkannya KepMen Kimpraswil No. 384/KPTS/M/2004 Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” yang baru ini khusus ditujukan untuk proyek konstruksi bendungan, sedangkan untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya seperti jalan, jembatan, dan bagunan gedung, belum dibuat pedoman yang lebih baru. Namun, apabila dilihat dari cakupan isinya, Pedoman Teknis K3 untuk bendungan tersebut sebenarnya dapat digunakan pula untuk jenis-jenis proyek konstruksi lainnya. ”Pedoman Teknis K3 Bendungan” juga mencakup daftar berbagai penyakit akibat kerja yang hrus dilaporkan. Bila dibandingkan dengan standar K3 untuk jasa konstruksi di Amerika Serikat misalnya, (OSHA, 29 CFR Part 1926), Occupational Safety and Health Administration (OSHA), sebuah badan khusus di bawah Departemen Tenaga Kerja yang mengeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstrusksi, memperbaharui peraturan K3-nya secara berkala (setiap tahun). Peraturan atau pedoman teknis tersebut juga sangat komprehensif dan mendetil. Hal lain yang dapat dicontoh adalah penerbitan brosur-brosur penjelasan untuk menjawab secara spesifik berbagai isu utama yang muncul dalam pelaksanaan pedoman Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia teknis di lapangan. Pedoman yang dibuat dengan tujuan untuk tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, selayaknya secara terus menerus disempurnakan dan mengakomodasi masukan-masukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan. Dengan demikian, pelaku konstruksi akan secara sadar mengikuti peraturan untuk tujuan keselamatan dan kesehatan kerjanya sendiri.
F. Pengawasan dan Sistem Menejemen K3
Menurut UU Ketenagakerjaan, aspek pengawasan ketenagakerjaan termasuk masalah K3 dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang harus memiliki kompetensi dan independensi. Pegawai pengawas perlu merasa bebas dari pengaruh berbagai pihak dalam mengambil keputusan. Di samping itu, unit kerja pengawasan ketenagakerjaan baik pada pemerintah propinsi maupun pemerintah kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan kepada Menteri Tenaga Kerja. Pegawai pengawasan ketenagakerjaan dalam melaksanakan tugasnya wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut sifatnya patut dirahasiakan dan tidak menyalah gunakan kewenangannya. Pegawai pengawas ini sangat minim jumlahnya, pegawai pengawas K3 di Departemen Tenaga Kerja pada tahun 2002 berjumlah 1.299 orang secara nasional, yang terdiri dari 389 orang tenaga pengawas struktural dan 910 orang tenaga pengawas fungsional. Para tenaga pengawas ini jumlahnya sangat minim bila dibandingkan dengan lingkup tugasnya yaitu mengawasi 176.713 perusahaan yang mencakup 91,65 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa penerapan masalah K3 di perusahaan-perusahaan tidak dapat diselesaikan dengan pengawasan saja. Perusahaan-perusahaan perlu berpatisipasi aktif dalam penanganan masalah K3 dengan menyediakan rencana yang baik, yang dikenal sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau ”SMK3.” SMK3 ini merupakan tindakan nyata yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan oleh seluruh tingkat manajemen dalam suatu organisasi dan dalam pelaksanaan pekerjaan, agar seluruh pekerja dapat terlatih dan termotivasi untuk melaksanakan program K3 sekaligus bekerja dengan lebih produktif.
UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 pekerja, atau kurang dari 100 pekerja tetapi dengan tempat kerja yang berisiko tinggi (termasuk proyek konstruksi), untuk mengembangkan SMK3 dan menerapkannya di tempat kerja. SMK3 perlu dikembangkan sebagai bagian dari sistem manajemen suatu perusahaan secara keseluruhan. SMK3 mencakup hal-hal berikut: struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif. Kementrian Tenaga Kerja juga menunjuk tenaga-tenaga inspektor/pengawas untuk memeriksa perusahaan-perusahaan dalam menerapkan aturan mengenai SMK3.Para tenaga pengawas perlu melalukan audit paling tidak satu kali dalam tiga tahun.
Perusahaan- perusahaan yang memenuhi kewajibannya akan diberikan sertifikat tanda bukti. Tetapi peraturan ini kurang jelas dalam mendifinisikan sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai masalah K3, yaitu salah satunya dengan memberikan apresiasi kepada para pengusaha yang menerapkan prinsip-prinsip K3 dalam operasional perusahaan yang berupa penghargaan tertulis serta diumumkan di media-media massa, seperti yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan Majalah Warta Ekonomi dan PT Dupont Indonesia.
Untuk tahun 2005 silam, pemenang penghargaan tersebut adalah PT. Total E&P Indonesia (kategori Industri Pertambangan, Minyak, dan Gas), PT. Nestle Indonesia (kategori Industri Consumer Goods), dan PT. Amoco Mitsui PTA Indonesia serta PT. Wijaya Karya (kategori Industri Lainnya). Keempat pemenang ini disaring dari 125 finalis. Melihat nama-nama perusahaan yang mendapatkan penghargaan, menunjukkan bahwa sebagian pelaku usaha yang sangat menyadari masalah K3 adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Namun, yang menarik adalah bahwa terdapat satu perusahaan kontraktor nasional (BUMN) yaitu PT. Wijaya Karya sudah berada pada jajaran perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap masalah K3. Memang terdapat pengaruh positif budaya K3 yang dirasakan oleh pelaku konstruksi nasional, yang dibawa oleh perusahaan-perusahaan asing yang menerapkan prinsip-prinsip K3 di proyek-proyek konstruksi, sehingga sedikit banyak memaksa perubahan perilaku para tenaga kerja konstruksi.
G. Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penanganan masalah kecelakaan kerja juga didukung oleh adanya UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan UU ini, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) adalah perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari suatu peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, tua dan meninggal dunia. Jamsostek kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 14/1993 mengenai penyelenggaraan jamsostek di Indonesia. Kemudian, PP ini diperjelas lagi dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER-05/MEN/1993, yang menunjuk PT. ASTEK (sekarang menjadi PT. Jamsostek), sebagai sebuah badan (satu-satunya) penyelenggara jamsostek secara nasional.
Sebagai penyelenggara asuransi jamsostek, PT. Jamsostek juga merupakan suatu badan yang mencatat kasus-kasus kecelakaan kerja termasuk pada proyek-proyek konstruksi melalui pelaporan klaim asusransi setiap kecelakaan kerja terjadi. Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-196/MEN/1999, berbagai aspek penyelenggaraan program jamsostek diatur secara khusus untuk para tenaga kerja harian lepas, borongan,Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi di Indonesia dan perjanjian kerja waktu tertentu, pada sektor jasa konstruksi. Karena pekerja sektor jasa konstruksi sebagian besar berstatus harian lepas dan borongan, maka KepMen ini sangat membantu nasib mereka. Para pengguna jasa wajib mengikutsertakan pekerja-pekerja lepas ini dalam dua jenis program jamsostek yaitu jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Apabila mereka bekerja lebih dari 3 bulan, pekerja lepas ini berhak untuk ikut serta dalam dua program tambahan lainnya yaitu program jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Khusus mengenai aspek kesehatan kerja diatur melalui Keppres No.22/1993. Dalam Keppres ini, terdapat 31 jenis penyakit yang diakui untuk mungkin timbul karena hubungan kerja. Setiap tenaga kerja yang menderita salah satu penyakit ini berhak mendapat jaminan kecelakaan kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir (sampai maksimal 3 tahun). Pada umumnya, penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai akibat terkena bahan kimia yang beracun yang berasal dari material konstruksi yang apabila terkena dalam waktu yang cukup lama dapat mengakibatkan penyakit yang serius. Penyakit yang mungkin timbul juga termasuk kelainan pendengaran akibat kebisingan kegiatan konstruksi, serta kelainan otot, tulang dan persendian yang sering terjadi pada pekerja konstruksi yang terlibat dalam proses pengangkutan material berbobot dan berulang, dan penggunaan peralatan konstruksi yang kurang ergonomis.
Dengan demikian, perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jamsostek secara legal dapat dikatakan memadai. Namun, besarnya pembayaran jaminan tersebut sering kali tidak memadai. Sebagai contoh, biaya-biaya transportasi dan perawatan di rumah sakit akibat kecelakaan kerja yang sudah tidak sesuai lagi dengan tingginya kenaikan harga yang terjadi pada saat ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai berbagai aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada penyelenggaraan konstruksi di Indonesia, dapat diambil kesimpulan bahwa bebagai masalah dan tantangan yang timbul tersebut berakar dari rendahnya taraf kualitas hidup sebagian besar masyarakat. Dari sekitar 4.5 juta pekerja konstruksi Indonesia, lebih dari 50% di antaranya hanya mengenyam pendidikan maksimal sampai dengan tingkat Sekolah Dasar. Mereka adalah tenaga kerja lepas harian yang tidak meniti karir ketrampilan di bidang konstruksi, namun sebagian besar adalah para tenaga kerja dengan ketrampilan seadanya dan masuk ke dunia jasa konstruksi akibat dari keterbatasan pilihan hidup.
Permaslahan K3 pada jasa konstruksi yang bertumpu pada tenaga kerja berkarakteristik demikian, tentunya tidak dapat ditangani dengan cara-cara yang umum dilakukan di negara maju. Langkah pertama perlu segera diambil adalah keteladanan pihak Pemerintah yang mempunyai fungsi sebagai pembina dan juga “the biggest owner.” Pihak pemilik proyek lah yang memiliki peran terbesar dalam usaha perubahan paradigma K3 konstruksi. Dalam penyelenggaraan proyek-proyek konstruksi yang didanai oleh APBN/APBD/Pinjaman Luar Negeri, Pemerintah antara lain dapat mensyaratkan penilaian sistem K3 sebagai salah satu aspek yang memiliki bobot yang besar dalam proses evaluasi pemilihan penyedia jasa. Di samping itu, hal yang terpenting adalah aspek sosialisasi dan pembinaan yang terus menerus kepada seluruh komponen Masyarakat Jasa Konstruksi, karena tanpa program-program yang bersifat partisipatif, keberhasilan penanganan masalah K3 konstruksi tidak mungkin tercapai.
B. Saran
Kesehatan dan keselamatan kerja sangat penting dalam pembangunan karena sakit dan kecelakaan kerja akan menimbulkan kerugian ekonomi (lost benefit) suatu perusahaan atau negara olehnya itu kesehatan dan keselamatan kerja harus dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh elemen yang ikut terlibat dalam masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Wirahadikusumah,Reni.2008.Kecelakaan.(Online), (lilo.staff.fkip.uns.ac.id/files/2008/09/kecel.. ,diakses 13 Desember 2009)
Warta Ekonomi, ”K3 Masih Dianggap Remeh,” 2 Juni 2006
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 174/MEN/1986-104/KPTS/1986: ”Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.”
Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 384/KPTS/M/2004
”Tentang Pedoman Teknis Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi Bendungan.”
Hinze, J., and Bren, K. (1997). “The Causes of Trenching Related Fatalities and Injuries,”
Proceedings of Construction Congress V: Managing Engineered Construction in
Expanding Global Markets, ASCE, pp 389-398.
Keppres RI No.22 Tahun 1993 ”Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.”
King, R.W. and Hudson, R. (1985). “Construction Hazard and Safety Handbook: Safety.” Butterworths, England.
Occupational Safety and Health Administration (Revisi 2000). “Occupational Safety and Health Standards for the Construction Industry” (29 CFR Part 1926) – U.S. Department of Labor.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER-01/MEN/1980 “Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.”
Peraturan Pemerintah RI No. 14 Tahun 1993 “Tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.”
Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja
No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: “Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi.”
The Business Roundtable (1982). “Improving Construction Safety Performance”. A CICE
Project Report. Construction Industry Institute, USA.
UURI Nomor 3 Tahun 1992 “Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.”
UURI Nomor 13 Tahun 2003 “Tentang Ketenagakerjaan
0 comments:
Post a Comment